Senin, 20 September 2010

Membaca Kembali Wahyu Tuhan

Perdebatan mengenai teks Al-Quran sebagai wahyu Allah, pada dasarnya dimulai dengan wacana, apakah ayat-ayat Al-Qur’an itu bersifat qadim atau hadits? Artinya, apakah wahyu tuhan itu harus dipahami dan di-imani kesuciannya dari maknanya saja, ataukah makna dan lafadz bahasa Arabnya sekaligus. Pendapat dari Imam Hanafi ternyata lebih sepakat dengan pemahaman bahwa ‘makna’ adalah entitas wahyu, sedangkan pendapat dari Imam Syafi’i menganggap bahwa makna dan lafadz Al-Qur’an lengkap dengan bahasa Arab-nya adalah wahyu (Wijaya, 2004:1-3).

Seiring berjalannya waktu, pemahaman bahwa Al-Quran adalah wahyu dengan makna sekaligus lafadz arabnya, seperti memenangkan perdebatan ini. Apalagi sejak Khalifah Utsman bin Affan melakukan pembukuan Al-Qur’an yang diangkat dari para penghafal (hafidz), dan melahirkan apa yang disebut sebagi Mushaf Utsmani, saat itulah pemahaman terhadap Al-quran sebagai wahyu mulai mengalami pembekuan, yakni dianggapnya teks yang terkumpul dan dibukukan dalam Mushaf Utsmani sebagai wahyu dan sumber dasar Islam yang sakral.

Dengan semakin massifnya pemahaman di atas, ternyata muncul banyak konsekuensi, salah satunya adalah muncul gejala ‘Arabisasi’ dalam pemahaman mengenai Islam. Hal ini logis, karena bahasa Arab telah mendapat supremasi tinggi sebagai bahasa yang dipakai dalam wahyu, karena itu sakralitasnya telah menduduki hirarki puncak bagi umat Islam yang ingin berupaya memahami wahyu Tuhan.

Konsekuensi lebih jauh, juga merambah dalam wilayah kultural, di mana gejala konstruksi sosial di kalangan sebagian umat Islam semakin menunjukkan adanya sikap logosentrisme berlebih, seperti pemakaian artefak dan nilai budaya Arab dalam relasi sosial dan ekspresi nilai keagamaan tanpa memandang substansinya, bahkan bisa dikatakan muncul stigma bahwa ‘Islam adalah Arab’.

Pemahaman yang keliru dengan mengidentikkan Islam dengan Arab, justru membuat citra Islam di mata dunia semakin buruk. Banyak orang kemudian mengidentikkan Islam dengan burka, jenggot panjang, celana mata kaki, rajam, potong tangan, dan seterusnya. Padahal pemahaman itu bukan substansi dari ajaran islam, namun hanya sepenggal kisah historis dan konstruksi budaya di daerah tertentu.

Cukup sah jika dewasa ini Islam sering diidentikkan dengan terorisme, sikap ekslusif dan kekerasan. Citra seperti ini sebenarnya bisa diubah, apabila umat Islam mau membuka diri dan berupaya mengembangkan pemikiran Islam yang lebih progresif dan toleran. Hal ini penting mengingat bahwa Islam sesungguhnya adalah ajaran rahmatan lil alamin yang memberi keteduhan bagi seluruh umat manusia, bukan malah membuat orang ketakutan

Salah satu cara bagi kita untuk mengembangkan pemikiran Islam yang lebih kontekstual, adalah dengan membaca atau mentelaah kembali pemahaman kita mengenai wahyu tuhan. Berikut ini akan penulis bahas beberapa pemahaman yang berkembang mengenai pembicaraan seputar wahyu.

Sebagai sebuah bahasa, wahyu menurut Toshihiko Izutsu (1997:165-168) menyangkut adanya dua hal, yakni Tuhan dan firman, atau dalam bahasa strukturaisme Sausurean bisa dilihat dari segi parole (pengucapan) dan langue (sistem linguistik), dilihat dari aspek parole, artinya wahyu harus didekati dengan berupaya memahami apa yang dimaksud oleh Tuhan. Akan tetapi wahyu diturunkan oleh tuhan dengan melibatkan peran manusia (Muhammad), maka perspektif ini menunjukkan bahwa sebenarnya wahyu bukan semata supremasi alam Tuhan, melainkan selalu membumi sesuai keadaan alam manusia.

Berikutnya adalah memahami dari aspek langue, dalam artian bahasa Arab sebagai sebuah sistem bahasa yang dipakai dalam wahyu, Toshiro Izutsu masih mempercayai bahwa memahami wahyu harus merujuk pada bahasa Arab, dengan memakai analisis linguistik stuktural yang obyketif. Namun pemahaman tentang langue oleh Izutsu ini kemuidan di kritik oleh Nasr Hamid Abu Zaid (2001), dengan menambahkan bahwa bahasa wahyu memiliki hubungan dialektis dengan budaya.

Nasr Hamid Abu Zaid juga mencoba melakukan demistifikasi pemahaman secara radikal, dengan mengungkapkan bahwa wahyu sebagai firman tuhan (parole) adalah pembentuk budaya, sedangkan wahyu dalam bentuk langue yakni sistem pengucapan bahasa manusia, atau wahyu dalam mushaf utsmani adalah artefak atau realitas budaya yang terbentuk secara dialektis.

Dengan memahami bahwa Al-Qur’an (mushaf utsmani) merupakan hasil dialektika kultural, maka hal ini telah membuka ruang perdebatan yang sangat luas. Salah satunya adalah membongkar kembali pemhaman kita tentang sakralitas Islam-Arab, di mana tradisi yang selama ini dianggap sakral dan baku, ternyata merupakan realitas kemanusiaan yang profan.

Oleh karena itu, Al-Qur’an sebagai mushaf utsmani, atau wahyu yang sejatinya mengalami obyektifikasi dalam kehidupaan manusia, tidak mungkin dimaknai secara murni tekstual. Karena pemaknaan secara tekstual tanpa memperimbangkan aspek filosofis dan historis pada teks, akan mengakiibatkan pemaknaan menjadi ‘beku’, dan mengakar menjadi bentuk pemahaman ekslusif yang berbahaya, karena bisa menjadi legitimasi bagi kepentingan sosial politik tertentu yang tidak bertanggungjawab.

Demistifikasi al-qur’an sebagai wahyu (bahasa tuhan), menjadi teks atau realitas budaya, telah membuka bahwa al-qur’an atau Islam bukanlah teks yang ‘beku’, melainkan Islam menuntut adanya pembacaan secara terus-menerus sehingga mampu menjawab tantangan di segala zaman, bukan justru dimatikan menjadi monumen (Abdalla, 2002), untuk itu bentuk-bentuk pembekuan teks dalam wacana keislaman memang perlu untuk dikritik dewasa ini.

Di Indonesia, bentuk-bentuk pembekuan Islam dewasa ini juga masih banyak terjadi, seperti sikap keberagamaan yang intoleran, formalisasi syariah, fatwa semena-mena, dan seterusnya. Fenomena ini menjadi kontroversial di masyarakat, mengingat masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang plural, dan tentu saja tidak bisa dipaksa oleh formalisasi aturan agama tertentu.

Untuk itu, pemahaman kita tentang wahyu tuhan atau ajaran Islam secara umum harus didudukkan secara kontekstual dalam ruang dan waktu yang dinamis. Oleh karenanya, tafsir keislaman menjadi sangat terbuka, dan tidak menjadi monopoli kebenaran (truth claim) salah satu pihak saja.

Dengan melakukan pembacaan Islam secara terus-menerus, umat Islam bisa menghindari adanya gejala pemhaman yang taken for granted dan jebakan pada tindak pemaknaan yang memaksa peniruan buta (taqlid). Untuk itulah upaya ‘membuka-kembali’ pintu ijtihad yang selama ini sudah dianggap final oleh sebagian kelompok memang penting untuk diupayakan, agar tradisi keagaman dalam Islam yang pluralis dan dialogis semakin tumbuh dan berkembang, untuk mendukung nilai-nilai demokrasi dan memperkuat civil society Indonesia yang cerdas dalam berpikir dan berakhlak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar